ABSTRAKSI
Kami menulis makalah ini dengan harapan
untuk mengetahui bagaimana teknologi
informasi dan perpajakan yang juga membahas tentang hukum dan
penyelesaikan masalah dalam dunia internet
Sebagaimana diketahui bahwa pengguna internet pada era sekarang
sangat meningkat sesuai dengan kebutuhan informasi. Karena begitu
banyaknya pengguna intrnet baik dalam
hal positif ataupun negative dengan banyak tujuan maka untuk menghindari
pemakaian internet yang semena mena maka dibuatlah hukum yang mengatur tentang
perpajakan. Hal tersebut juga termasuk pengaturan apabila terjadi pelanggaran
atau masalah masalah lain yang berkaitan tentang internet. Sehingga kami
membuat makalah ini sebagai bahan pembelajaran untuk mendalami tekniknologi
informasi dan perppajakan
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian hokum internasional?
2.
Bagaimana perpajakan
dalam dunia internet?
3.
Bagaimana hubungan antara internet dan yuridiksi?
4. Bagaimana perpajakan
internasional dalam transaksi E-Commerce?
5.
HUKUM INTERNASIONAL
Pengertian
1
Secara etimologi hukum internasional
diartikan sebagai berikut:
- Hukum Antamegara, yaitu kumpuian peraturan yang mengatur hubungan antar negara.
- Hukum Antarbangsa (Hukum Bangsa-bangsa), yaitu kumpuian peraturan yang mengatur hubungan antarbangsa.
2
Hugo De Groot (Grotius – Bapak Hukum
Internasional daiam bukunya Jure Belli ac Pads (The Law of War and Peace)
Hukum Internasional adalah hukum dan hubungan
internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua
negara yang ditunjuk. untuk kepentingan bersama di negara-negara yang
menyatukan diri didalamnya.
3
JG. Starke (An Introduction to
Internasional Law)
Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang
sebagian besar terdiri dan asas- asas dan karenanya ditaati daiam hubungan
antar negara.
4
C. Cheney Hyde (International Law)
Hukum Internasional adalah peraturan-peraturan hukum
mengenai peiaksanaan fungsi lembaga-lembaga dan organisasi internasional,
hubungan lembaga-lembaga organisasi itu, serta hubungannya dengan negara-negara
dan individu-individu.
5.
Mochtar Kusumaatmadja
Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara,
antar negara, antara negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek
hukum bukan negara satu sama Iainnya.
6.
John Austin
Hukum internasional hanya sebagai basa-basi
(sopan-santun) daiam pergaulan internasional dan bukan hukum daiam arti
sebenamya. Hal ini karena tidak ada kekuasaan yang berdaulat yang berada di
atas negara-negara yang dapat mengikat dan dapat memaksakan agar hukum
internasional ditaati dan dipatuhi.
7.
Sam Suhaedi
Hukum internasional merupakan himpunan aturan-aturan,
norma-norma, dan asas yang mengatur pergaulan hidup masyarakat internasional.
8.
Wirjono Projodikoro
Hukum internasional adalah hukum yang mengatur
perhubungan hukum antara berbagai bangsa di berbagai negara.
Jadi, secara keseluruhan, Hukum internasional adalah
sekumpulan hukum yang terdiri atas asas-asas dan peraturan- peraturan tingkah
laku yang mengikat negara-negara.
Tujuan Hukum
internasional
Tujuan hukum internasional, antara lain :
- Menciptakan sistem hukum yang teratur daiam hubungan-hubungan internasional dengan memperhatikan asas keadilan.
- Mengatur masalah bersama yang penting daiam hubungan subjek-subjek hukum internasional.
Klasifikasi
Macam-macam Hukum internasional
1.
Menurut Sri Jutmini dan Winamo
- Hukum internasional umum, yaitu peraturan yang dilaksanakan secara universal.
- Hukum internasional regional, yaitu peraturan-peraturan yang tumbuh dengan adanya hubungan antamegara dan terbatas pada lingkungan beriakunya. Hukum internasional regional tumbuh melalui hukum kebiasaan. Peraturan-peraturan regional tidak berarti derajatnya lebih rendah daripada peraturan intemasional Peraturan-peraturan regional hanya bersifat menambah (complementary) atau berhubungan (correlated). Apabila terjadi konflik regional, maka pengadilan internasional harus menggunakan peraturan-peraturan regional yang diakui sah bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian.
- Hukum internasional khusus, yaitu peraturan-peraturan yang hanya berlaku pada negara-negara tertentu yang tidak terbatas pada wilayah tertentu. Hukum internasional khusus tumbuh melalui perjanjian (konvensi) internasional. Contoh : Konvensi Eropa tentang HAM.
2.
Menurut Konferensi Wina Tahun 1969
(Modern)
- Hukum internasional tertulis adalah hukum internasional hanya berlaku untuk perjanjian-perjanjian antarnegara (disebut Perjanjian Internasional Tertulis).
- Hukum Internasional tidak tertulis adalah hukum internasional yang berupa perjanjian- perjanjian yang dilakukan secara lisan disertai catatan tertulis atau nota resmi dan nota pribadi di pejabat negara yang bersangkutan.
3.
Menurut wilayah:
- Hukum Internasional Umum (general) adalah Hukum Intemaisonal yang tidak terbatas oleh suatu wilayah tertentu (berlaku seluryh dunia).
- Hukum Internasional Regional
adalah Hukum Internasional yang terbatas oleh wilayahtertentu.
Misal : - Hukum Internasional Amerika Latin
- Hukum Internasional ASEAN
4.
Menurut objeknya
- Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga negara suatu negara dengan warga negara dari negara lain.
- Hukum Publik Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara suatu negara dengan negara lain dalam hubungan internasional. Menurut Grotius, Hukum Publik Internasional (Hukum Internasional Publik) terdiri atas:
- Hukum Damai adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara-negara dalam keadaan damai.
- Hukum Perang adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara-negara yang berperang dan menentukan larangan-larangan mengenai cara berperang.
Beberapa hal yang harus dihormati pada saat perang,
antara lain :
- Kota terbuka tidak boleh dibom.
- Tempat Palang Merah dan petugasnya harus mendapat perlindungan.
- Perang kuman (biologi) dan kimia dilarang.
- Tawanan yang luka harus mendapat perawatan.
- Tidak boleh membinasakan penduduk sipil.
- Larangan pengrusakan terhadap fasilitas umum dan tempat ibadah.
PERPAJAKAN DI INTERNET
(INTERNET
TAX)
1.
e-Freedom
Coalition
1.1 e-Freedom
Coalition, Komisi Penasihat e-Commerce
Desakan
teknologi dapat terhambat oleh skema perpajakan baru. Akan tetapi permasalahan pengenaan
pajak atas e-Commerce ternyata melebihi penyebaran permasalahan itu
sendiri. Dengan memungkinkan pemerintah lokal untuk mengenakan pajak
melewati perbatasan secara fundamental tidak dapat disesuaikan. Remote
taxation adalah pengenaan pajak tanpa representatif (perwakilan) pada skala
yang tidak dapat dibandingkan.
Peraturan
pajak yang benar haruslah mendukung fungsi-fungsi yang disandangnya dalam
peraturan pemerintah. Electronic commerce memungkinkan konsumen untuk mengambil
keuntungan dari tingkat pajak yang kompetitif pada wilayah yurisdiksi ditempat
lain yang dengan demikian dapat melayani dengan batasanbatasan tertentu pada
pemerintahan yang berlebih.
Prioritas
pertama seharusnya mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan memperpendek sistem
pemungutan pajak.Dengan demikian akan cukup jelas surplus anggaran di
tingkat federal, daerah dan local. Menyadari akan kemampuan warga negara untuk
mengambil keuntungan dari semua penawaran internet, termasuk atas
e-commerce, benar-benar tergantung pada kemungkinan akses internet.
Diberikan
5 rekomendasi untuk menjelaskan dan mencegah munculnya kembali pajak-pajak dan
peraturan-peraturan pemerintah yang memberatkan, yang hanya akan
mengakibatkan semakin tingginya biaya yang ditanggung konsumen dan memperlambat investasi
yang diperlukan untuk memperkuat dan memelihara infrastruktur informasi
nasional.
Ada
5 pajak penghambat terhadap akses internet :
1.
Pajak pembelian sebesar 3% pada telekomunikasi.
Pajak
ini adalah sebuah anakronisme
dan harus segera ditinjau ulang.
2.
Discriminatoryi ad valorem taxation of interstate telecommunication.
Limabelas
pernyataan tentang tingkat pajak properti bisnis telekomunikasi lebih tinggi dibanding
properti yang lain, menyebabkan tingginya biaya yang ditanggung
konsumen. Perlindungan pemerintah terhadap jenis pajakpajak ini telah digunakan
untuk jalan kereta api, pesawat terbang, dan truk, yang seharusnya
diperluas mencakup telekomunikasi.
3.
Internet tolls, pengenaan pajak baru dan biaya yang dibebankan pada penyelenggaraan
telekomunikasi dan konsumen mereka ketika kabel telah terinstal sepanjang
jalan dan highway. Pajak-pajak baru ini, yang dapat menaikan pendaptan
gross mencapai 5%, dapat meningkatkan biaya yang ditanggung konsumen,
dan sudah seharusnya dihapuskan.
4.
Negara dan pajak-pajak telekomunikasi local, keruwetan auditing dan prosedur pangisian.
Banyak pemerintahan yang menggunakan tagihan telapon sebagai sapi
perah, dengan mengenakan pajak tinggi dan berganda atas layanan yan
diberikan. Pajak-pajkak seperti ini seharusnya dihilangkan menjadi pajak tunggal
per pemerintahan local, dan penyederhanaan aliran prosedur pengisian atau
auditing.
5.
Pajak akses internet.
Pelarangan sementara federal pada pajak akses
internet seharusnya
dibuat permanen. Pemerintah local yang memberlakukan pajak ini sebelum adanya
larangan diberlakukan seharusnya meninjau ulang setiap pajak atas akses untuk
menjaga rendahnya biaya pada konsumen. Selanjutnya, diusulkan jika pajak
penjualan masih tetap dikenakan secara online, sebuah system
pertumbuhan untuk pengumpulan pajak penjualandan penggunaan oleh perusahaan dengan
suatu kehadiran secara fisik dalam yuridiksi pajak adalah yang paling sesuai.
Sistem ini akan menguatkan, memperbaharui dan mengklarifikasi hukum
konstitusional yang ada melalui penetapan standar yuridiksi yang jelas
sehingga dapat dengan mudah dipahami dan relevan dalam ekonomi baru ini.
Pendekatan
pada rekomendasi perpajakan e-commerce ;
1.
Secara permanen melarang pajak atas akses internet.
Pemerintahan
local yang
memberlakukan pajak atas akses internet mengacu pada oratorium federal harus
menghapuskan pajak-pajak tersebut, dan tidak ada lagi pajak baru atas akses
(layanan) yang akan dikenakan.
2.
Mengubah Internet Tax Freedom
Act
untuk moratorium permanen atas
diskriminasi
pajak penjualan dan penggunaan. Bagian 1101 (a) (1) dari Internet Tax Freedom
Act enyebutkan 3 tahun moratorium terhadap setiap pajak layanan akses
internet baru yang tidak ditetapkan pada tanggal 1 Oktober 1998.
Pengertian “layanan akses internet” menurut ITFA adalah “sebuah layanan yang
memungkinkan user untuk mengakses isi, informasi, e-mail atau layanan
lain yang ditawarkan di internet yang mungkin termasuk akses pada isi,
informasi, maupun layanan lain dengan kepemilikan sebagai bagian dari paket
layanan yang ditawarkan kepada konsumen.Dalam hal ini tidak termasuk layanan
telekomunikasinya”.
Dengan
demikian ITFA telah mempelopori pajak akses internet yang ada sekarang di beberapa daerah yang
kemudian menggunakannya sebagai sumber pendapatan sebelum masa berlakunya
moratorium. Bagian 1101 (a) (2) dari IFTA juga menyinggung tentang
moratorium atas pajak berganda dan diskriminasi pajak atas electronic commerce,
termasuk didalamnya pajak penjualan lokal dan daerah serta pajak penggunaan lokal
dan daerah. Untuk
meong kombinasi
efek dari kedua klausa IFTA ini maka diadakan tax-freezone sementara untuk akses
internet dan berbagai tipe electronic commerce. Efreedom Coalition mengajukan
taz-free-zone sementara ini dibuat permanen baik untuk pajak akses serta
pajak penjualan dan penggunaan pada Electronic commerce. Pajak seperti ini
sangat tidak efisien. Pengenaan pajak akses dan penjualan secara berganda, tumpang
tindih ataupun diskriminasi pada internet dan Electronic commerce secara umum
akan sulit dan prakteknya menjadi tidak efisien. Dengan memiliki 30.000 maupun
50 yurisdiksi dan kebijakan pajak hanya akan menimbulkan kebingungan
dan rezim pajak domestic yang kontra produktif. Pelaksanaan rezim pajak
ini pada internet atau electronic commerce hanya akan menimbulkan efek yang
sangat menggangu pada sektor internet padahal internet sedang dalam tahap
pertumbuhan dan perluasan. Output industri dan kaum pengusaha akan dibatasi
secara besar-besaran. Efek negatif dari rezim pajak internet yang baru
gaungnya terdengar pada ekonomi nasional. Pengenaan pajak tidak terbatas pada
internet akses atau penjualan akan mengurangi usaha-usaha di masa dating dan sangat
disesalkan dapat mengurangi inovasi, panciptaan lapangan kerja baru, dan
pertumbuhan ekonomi secara general.
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap
orang, benda atau peristiwa (hukum), Yurisdiksi negara dalam hukum
internasional adalah hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi
dengan langkah – langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan
yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku –
perilaku atau peristiwa – peristiwa yang tidak semata – mata merupakan masalah
dalam negeri .
Kemajuan teknologi informasi yang cepat selalu menimbulkan suatu
permasalahan terutama di bidang hukum pidana, sementara di satu sisi hukum
seringkali tertinggal jauh di banding dengan kemajuan teknologi. Komunitas
(community) sosial yang ada dan telah terbentuk serta berjalan dengan adanya
perkembangan teknologi informasi juga akan mengalami perubahan di berbagai
aspek. Dengan menggunakan internet muncul pula komunitas masyarakat yang
berbeda dengan yang sudah ada selama ini, komunitas masyarakat internet dapat
pula disebut sebagai “cybercommunity”.
Memperhatikan
berbagai perkembangan yang terjadi , dapat dikatakan internet adalah suatu
sistem jaringan yang terdiri dari berbagai macam komunitas, sehingga peserta atau
anggota komunitas dapat membuat dan mendefinisikan hukum yang tepat untuk
komunitas Komunitas masyarakat
internet yang tanpa batas (borderless) menimbul-kan masalah dalam hal
jurisdiksi. Sebagaimana dikemukakan oleh Masaki Hamano :
Masaki
Hamano menggunakan 3 jenis yurisdiksi tradisional , untuk menganalisa
permasalahan dalam cyberjurisdiction.
1)
Yurisdiksi legislatif (Jurisdiction to prescribe)
Yurisdiksi
legislatif adalah wewenang negara untuk membuat hukum sesuai dengan masyarakat dan
keadaan yang ada . Dalam keterkaitannya dengan internet, muncul
pertanyaan ialah negara mana yang berwenang terhadap kegiatan atau orang di
dunia cyber?. Menimbulkan suatu permasalahan yaitu “choice of law”.
2)
Yurisdiksi untuk mengadili ( Jurisdiciton to adjudicate)
Yurisdiksi
untuk mengadili didefinisikan sebagai wewenang negara terhadap seseorang untuk
melakukan proses pemeriksaan pengadilan , dalam masalah kriminal. Pada
yurisdiksi ini, masalah yang muncul adalah “choice of forum”.
3)
Yurisdiksi untuk melaksanakan (Jurisdiction to enforce)
Yurisdiksi
untuk melaksanakan berhubungan dengan wewenang satu negara untuk melakukan
penghukuman terhadap terdakwa sesuai hukum yang berlaku, baik melalui
pengadilan atau melalui tindakan non-hukum lainnya (sanksi administratif).
Ketiga
macam jurisdiksi yang dikemukakan di atas, dapat diterapkan dalam bidang penegakan hukum
pidana sehingga menjadi sebagai berikut yurisdiksi legislatif adalah
kewenangan pembuatan hukum substantif atau dapat juga disebut jurisdiksi formulatif;
jurisdiksi judisial merupakan kewenangan mengadili atau menerapkan hukum ,
dapat pula disebut sebagai jurisdiksi aplikatif atau yurisdiksi judisial; jurisdiksi
eksekutif adalah kewenangan melaksanakan kepatuhan hukum yang dibuat , dapat
pula disebut jurisdiksi eksekutif.
Masalah
yurisdiksi yang timbul lebih banyak sebagai yurisdiksi horisontal, artinya
negara manakah yang berhak untuk memutuskan atau melaksanakan
yurisidiksi di dunia mayantara (cyberspace); hal ini muncul karena sulitnya untuk
menetapkan diwilayah mana dunia mayantara (cyberspace) dapat dikenai jurisdiksi.
Trachtman
mengajukan dua pandangan tentang masalah yurisdiksi, pertama bahwa masalah dunia
mayantara tidak dapat ditempatkan dalam satu wilayah teritorial negara manapun
dengan asumsi bahwa wilayah teritorial sebagai dasar yurisdiksi; pandangan
kedua didasarkan pada keadaan mendasar tentang pemerintahan yang bersifat
global (global government).
Pemerintahan
global dapat digambarkan dalam tiga parameter, yaitu :
1)
Peraturan untuk menempatkan yurisdiksi di antara negara/pemerintahan;
2)
Harmonisasi peraturan;
3)
Kemungkinan diadakannya organisasi sentral yang diikutsertakan dalam pembuatan peraturan dan
kegiatan penegakan hukum.
Kedua
pandangan tersebut memiliki
kelemahan , sebagaimana diungkapkan
oleh
Trachtman sendiri. Bahwasanya , baik pada pandangan pertama dan kedua apabila dikaji lebih
dalam, jika terjadi kegagalan dapat menimbulkan anarki, bukan lagi pemerintahan
global.
Masalah
penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan di internet , memang membutuhkan
analisa, pendekatan tersendiri, serta kemungkinan penggabungan beberapa teori
mengenai yurisdiksi dan hal ini karena kekhususan yang ada pada komunitas
internet itu sendiri, serta teknologi informasi yang mendukung keberadaannya.
Pada
prinsipnya, tiga jenis yurisdiksi yang selama ini sudah dikenal tetap digunakan
sebagai landasan untuk dikembangkan lebih jauh dan mendalam.Ketiga yurisdiksi
tersebut yaitu :
1)
Yurisdiksi legislatif yaitu kewenangan membuat hukum (jurisdiction to
prescribe);
2)
Yurisdiksi judisial yaitu kewenangan untuk mengadili (jurisdiction to
adjudicate);
3)
Yurisdiksi pelaksanaan yaitu kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan
(jurisdiction to enforce).
PAJAK DALAM
DUNIA INTERNET
Perlakuan
pajak penghasilan terhadap transaksi bisnis tersebut akan dibahas dengan
mengambil asumsi pertama bahwa ASP dimaksud berada di Indonesia dan server yang
disebutkan diatas tidak mempunyai back-up servers sehingga server tersebut
merupakan satu-satunya server yang menjadi objek analisis.
Server
dimiliki oleh wajb pajak Indonesia. Bagi wajib pajak dalam negeri yang
mempunyai server yang berlokasi di dalam negeri dan menyewakannya kepada wajib
pajak lainnya, penghasilan yang diperolehnya dari kegiatan tersebut adalah
penghasilan atas sewa dari space yang bersangkutan. Dari sudut pandang penyewa,
apakah penyewa tersebut wajib memotong sewa yang dibayarkannya. Pemotongan PPh
dalam Undang-undang Pajak Penghasilan yang menyangkut pembayaran kepada wajib
pajak dalam negeri, diatur di beberapa pasal yaitu pasal 4 ayat (2), pasal 22,
dan pasal 23.
Ketentuan
yang paling dekat dengan kasus di atas adalah pasal 23, karena cakupan dari
pasal tersebut meliputi dividen; bunga; royalty; hadiah atau penghargaan; sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan
dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan. Apabila
disimak cakupan PPh Pasal 23 tersebut maka yang paling mendekati adalah sewa
sehubungan dengan penggunan harta. Ketentuan Pasal 23 yang menyangkut
penghasilan dari penggunaan harta tidak terlalu jelas ruang lingkupnya. Apabila
pengertian "harta" diberi interpretasi yang luas maka mencakup harta
berwujud dan harta tak berwujud. Yang pasti adalah bahwa suatu website bukan
merupakan harta berwujud, sehingga apabila pengertian "harta" diberi
arti yang luas maka penyewaan "website" akan dicakup dalam ketentuan
Pasal 23 dimaksud. Pasal 23 mensyaratkan bahwa dalam hal yang membayar adalah
orang pribadi maka orang tersebut harus ditunjuk sebagai pemotong.
Dengan
demikian apabila penyewa website adalah orang pribadi pembayaran yang dilakukan
kepada pemilik ISP tidak perlu memotong sepanjang yang bersangkutan tidak
ditunjuk sebagai pemotong. Sebagaimana yang telah dijelaskan agar supaya
website menjadi aktif dan dapat dipergunakan diperlukan perangkat lunak yang
sepsifikasinya atau jenisnya tergantung kepada pemiliknya sesuai dengan
kebutuhannya. Perangkat lunak ini diperlukan baik oleh pemilik ISP maupun
penyewanya. Untuk keperluan tersebut baik pemilik ISP maupun penyewa website
akan meminta seorang programmer untuk membuat program (perangkat lunak) sesuai
dengan kebutuhannya. Transaksi tersebut akan menimbulkan implikasi pajak
terutama masalah pemotongan PPh. Dengan perkataan lain, apakah pembayaran atas
perangkat lunak tersebut merupakan objek pemotongan. Hal ini ditentukan masuk
jenis penghasilan apa pembayaran dimaksud. Hanya ada dua jenis penghasilan yang
paling mendekati yaitu royalti atau jasa. Pada dasarnya "royalti"
adalah imbalan sebagai pengganti penggunaan atas hak, sehingga kepemilikan hak
tersebut tetap pada penemunya/pemilik.
Bila
dibandingkan dengan kasus perangkat lunak dalam kaitannya dengan website,
perangkat lunaknya sudah berpindah tangan kepada yang membelinya. Atas dasar
pertimbangan ini maka pembayaran atas perangkat lunak tersebut masuk dalam
kategori "jasa", yang berdasarkan ketentuan Pasal 23 masuk dalam
kelompok jasa teknik, yang dasar pemotongannya adalah penghasilan neto.
Implikasi
pajak yang agak rumit dari kegiatan usaha dengan e-commerce juga timbul dalam
hal penyewa atas space di ISP (penyedia jasa Internet) adalah perusahaan yang
berdomisili di luar negeri. Definisi bentuk usaha tetap (BUT) diatur di Pasal 2
ayat (5) Undang-undang PPh, yang berdasarkan rinciannya memberikan indikasi
bahwa keberadaan di Indonesia melalui harta berwujud, disamping kegiatan
pemberian jasa di Indonesia. Dengan demikian, apabila sebuah perusahaan luar
negeri melakukan kegiatan usaha melalui website, sesuai dengan definisi,
kegiatan ini tidak menimbulkan bentuk usaha tetap (BUT). Hal yang sama juga
dapat dikatakan bila perusahaan luar negeri tersebut adalah perusahaan yang
berdomisili di negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia. Namun, bila kegiatan
dari perusahaan tersebut memberikan jasa melalui website-nya maka pembayaran
yang diterima dari Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26, dengan
asumsi bahwa perusahaan tersebut berdomisili di negara-negara yang tidak
mempunyai P3B dengan Indonesia. Server dimiliki oleh wajib pajak luar negeri.
Sekali lagi dapat dikatakan bahwa Undang-undang Pajak Penghasilan belum
mencakup masalah ini, sehingga apabila definisi bentuk usaha tetap (BUT)
mencakup ISP maka Pasal 2 ayat (5) perlu diubah dan ditambah.
Hal
ini terkait rencana pemerintah tentang menjaring pajak penghasilan (PPh) warga
negara asing yang berbisnis musiman di Indonesia. Pembahasan Rancangan
Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mulai masuk masalah teknis. Panitia Kerja
mengemukakan RUU PPh baru menyelesaikan pembahasan 110 daftar inventaris
masalah (DIM) dari 600 DIM. Ketua Panitia Khusus RUU PPh, Melchias Markus
Mekeng mengungkapkan tentang pembahasan bentuk usaha tetap (BUT) terkait
maraknya perusahaan-perusahaan milik warga negara asing yang beroperasi di
Indonesia. Pemerintah ingin mengenakan pajak penghasilan terhadap mereka dengan
menjaringnya sebagai bentuk usaha tetap (BUT). Berkaitan dengan niat itu,
penetapan status bentuk usaha tetap (BUT) dapat bersifat terbuka (open list)
tetapi harus ada definisi yang lebih spesifik sehingga bisa tercipta kriteria
bentuk usaha tetap (BUT) yang bersifat khusus pula. Dalam hal ini pemerintah
mengusulkan 15 jenis bentuk usaha tetap (BUT) yang masuk dalam dan menjadi
subjek PPh. Mereka adalah orang pribadi, warisan yang belum dibagikan, badan
hukum, dan badan usaha. Termasuk di dalamnya berupa kantor perwakilan
perusahaan asing, gudang, showroom, tempat penjualan, serta agen dan kriteria
ini untuk mencakup orang yang tidak tinggal di Indonesia atau tidak menetap di
Indonesia lebih dari 183 hari atau setahun. Hal ini terkait dengan permasalahan
di dalam mengantisipasi aturan untuk menjaring transaksi e-commerce, terutama
untuk pajak penghasilan bagi penyedia jaringan atau jasa transaksinya.
Jika
situasi tersebut dikaitkan dengan P3B maka ada dua hal yang perlu
dipertimbangkan, yaitu pertama, dalam UU domestik dari negara-negara yang
terlibat mempunyai aturan tersebut, dan kedua, sesuai dengan commentary dari
OECD, keberadaan ISP memenuhi ketentuan Pasal 5 dari OECD Model. Pasal 5 dari
OECD Model mensyaratkan bahwa peralatan apapun yang digunakan sebagai server,
sifatnya harus tetap. Artinya server tersebut harus mempunyai lokasi yang tetap
dan pasti. Secara garis besar, semua transaksi dalam kaitannya dengan persiapan
untuk mengoperasikan website, dalam hal server dimiliki oleh wajib pajak luar
negeri.
Misalkan
salah satu dari penyewa website, yaitu wajib pajak luar negeri, menggunakan
website-nya untuk menyimpan informasi yang menyangkut industri tertentu, yang
kemudian ditawarkan kepada pihak ketiga untuk menjadi pelanggannya
(subscriber). Pelanggan tersebut membayar iuran untuk dapat mengakses informasi
dimaksud. Impikasi pajak penghasilan dari transaksi tersebut adalah perlakuan
pajaknya terhadap pembayaran yang di lakukan oleh pelanggan. Yang prtama-tama
dilakukan adalah menentukan masuk dalam kategori penghasilan apa pembayaran
tersebut. Dari sudut pandang UU Pajak Penghasilan, pembayaran untuk informasi
yang belum diungkapkan ke public atau yang tidak dapat diperoleh melalui sarana
yang tersedia di public, masuk dalam kategori "royalti", sebagaimana
ditegaskan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h.
Jadi
kalau pelanggannya adalah wajib pajak Indonesia maka yang bersangkutan harus memotong
PPh Pasal 26, dengan catatan bahwa tarifnya tergantung domisili dari wajib
pajak yang menerimanya. Pemotongan PPh pasal 26 ini bisa tidak final jika
server tersebut dianggap sebagai bentuk usaha tetap (BUT). Seandainya demikian
maka pembayaran untuk informasi tersebut diperlakukan sebagai penghasilan usaha
(business income) dari wajib pajak yang menerimanya. Sebaliknya apabila
berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan "server" tersebut
tidak/belum masuk dalam definisi bentuk usaha tetap (BUT) maka pemotongan PPh
Pasal 26 menjadi final. Server berada di luar negeri. Implikasi pajak
penghasilan terhadap penghasilan yang bersumber dari Indonesia sebagai akibat
dari kegiatan usaha melalui e-commerce yang server-nya berada di luar negeri,
mirip dengan apabila server yang berada di Indonesia dimiliki oleh wajib pajak
luar negeri.
Dalam
hal demikian maka ketentuan dari Undang-undang Pajak Penghasilan yang dapat
diterapkan adalah Pasal 26, dengan catatan bahwa pembayaran tersebut diterima
oleh wajib pajak dari Negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia.
Di
mana setiap pembayaran yang bersumber dari Indonesia yang membayar, termasuk
orang pribadi, harus memotong PPh Pasal 26 sebesar 20%. Apa yang diuraikan di
atas menunjukkan bahwa dalam hal e-commerce melibatkan wajib pajak luar negeri,
faktor utama yang memungkinkan Indonesia dapat mengenakan pajak adalah apakah
suatu web page dapat menimbulkan bentuk usaha tetap (BUT).
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, web page ini dimasukkan dalam host komputer.
Teorinya web page tersebut akan menjadi bentuk usaha tetap (BUT) di negara
dimana host komputer-nya berada, dengan catatan (sesuai dengan OECD Model)
bahwa computer tersebut tetap berada di satu tempat. Jadi hal ini perlu menjadi
pertimbangan dalam rangka upaya ekstensifikasi. Namun demikian, perlu disadari
bahwa bagi pemilik server atau web page sangat mudah memindahkannya ke tempat
lain atau Negara lain sehingga tidak terperangkap ke dalam definisi bentuk
usaha tetap (BUT).
Pemenuhan
kewajiban perpajakan. Di samping pendekatan yuridis fiskal, pendekatan dari
segi administratif juga perlu dipikirkan. Transaksi melalui e-commerce sulit
dilacak tanpa tersedianya data atau informasi yang diperlukan, terutama apabila
transaksi tersebut dilakukan melalui server yang berada di luar negeri.
Pemenuhan kewajiban perpajakan, terutama yang menyangkut kewajiban memotong PPh
Pasal 26. Hal ini akan sangat tergantung kepada terbentuknya badan pengawas
yang bertugas untuk mengawasi lalu lintas komunikasi melalui internet agar
tidak menimbulkan terjadinya kejahatan di dunia maya (cybercrime).
PERPAJAKAN
INTERNASIONAL DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE
Perkembangan teknologi digital yang
sangat pesat secara otomatis juga mempengaruhi gaya hidup orang-orang yang ada
didalamnya. Akses internet yang semakin mudah dan murah didukung dengan
tersedianya berbagai jenis gadget menjadikan siapapun semakin mudah dalam
mengakses informasi. Pengguna internet yang semakin besar inilah yang mendorong
munculnya berbagai situs jual beli online, yang memungkinkan antara penjual dan
pembeli dapat bertransaksi di dunia maya, tanpa harus bertatap muka. Transaksi
online ini acapkali disebut dengan e-commerce. Dengan berbagai kemudahan,
seperti penjual tidak perlu menyewa tempat, stok barang, atau menyewa pegawai
menjadikan e-commerce sebagai salah satu bisnis yang paling diminati.
Melihat pertumbuhan e-commerce yang
sangat pesat, maka diperlukan strategi yang efektif bagi otoritas perpajakan
dalam menyikapinya. Yang harus diperhatikan adalah tetap menjaga pertumbuhan
yang pesat ini agar tidak terjadi distorsi yang diakibatkan oleh kebijakan
perpajakan. Selama ini aspek perpajakan dalam e-commerce menjadi sorotan
otoritas perpajakan, apakah transaksi ini dikenakan pajak dan bagaimana
menyeimbangkan antara peraturan perpajakan yang ada dengan perkembangan
e-commerce.
Melihat perkembangan yang sangat cepat
dari pertumbuhan e-commerce di dunia termasuk di Indonesia, maka diperlukan
suatu strategi yang efektif bagi otoritas perpajakan dalam menyikapinya. Salah
satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah pertumbuhan yang sangat pesat ini
harus tetap dijaga agar tidak terjadi distorsi sebagai akibat kebijakan
perpajakan. Selama ini, aspek perpajakan dalam e-commerce telah menjadi sorotan
otoritas perpajakan di dunia, terutama apakah harus ada pengenaan pajak baru
terhadap transaksi ini dan juga bagaimana menyelaraskan peraturan perpajakan
yang ada dengan perkembangan ecommerce.
Beberapa negara yang tergabung dalam
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) sepakat bahwa
setiap perubahan pada aspek perpajakan bagi e-commerce dilakukan melalui kerja
sama dan perjanjian internasional dengan berdasarkan pada prinsip dasar
perpajakan. Lima prinsip dasar perpajakan tersebut adalah: neutrality, efficiency,
certainty and simplicity, effectiveness and fairness dan flexibility, prinsip
ini juga berlaku bagi semua perdagangan non ecommerce.
Pada tahun 1998, Amerika Serikat
menerapkan Internet Tax Freedom Act. Setelah mengalami beberapa kali
perpanjangan, kemudian berakhir pada November 2014. Peraturan ini melarang
tidak dikenakannya pajak pada: akses internet, penggunaan bandwith internat dan
penggunaan email. Namun demikian ketentuan perpajakan yang berlaku bagi
perdagangan konvensional berlaku sama dengan e-commerce.
Kanada menetapkan bahwa bisnis yang
dilakukan secara online diperlakukan sama seperti bisnis biasa. Pendapatan dari
e-commerce termasuk dalam kategori pendapatan biasa dan diperlakukan sesuai
dengan ketentuan undang-undang pajak penghasilan yang berlaku. Ketentuan
tersebut juga berlaku pada perdagangan yang terkena pajak penjualan, seperti
GST (Goods and Service Tax) dan HST (Harmonized Sales Tax).
Beberapa negara mengambil sikap wait and
see terkait pajak e-commerce. Hanya Uni Eropa yang berbeda, dimana jika
seseorang menjual barang dan jasa melalui internet dan memenuhi nilai penjualan
dalam batas tertentu, maka wajib untuk mendaftarkan dirinya di salah satu
negara Uni Eropa dan mengenakan PPN bagi pembelinya.
Yang harus diperhatikan adalah, dengan
tidak adanya ketentuan pajak baru bukan berarti e-commerce bebas pajak.
Perlakuan pajak yang sama perlu diterapkan bagi pengusaha online agar prinsip
keadilan dalam pengenaan pajak dapat dipenuhi. Hal yang tidak adil jika seorang
menjalankan usaha toko makanan harus membayar pajak atas penghasilan yang
didapatkannya, sementara orang lain yang menjual makanan melalui toko online
tidak dikenakan pajak.
Karena itu pihak perpajakan di Indonesia
hendaknya memberikan awareness agar pengusaha e-commerce menyadari kewajiban
perpajakannya. Selain itu beberapa peraturan perundangan perpajakan yang sudah
berlaku harus kembali ditegaskan dalam bisnis e-commerce, seperti jika ada
pengusaha e-commerce memiliki banyak toko online dengan lokasi server yang
berbeda, apakan diperlakukan sama dengan WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
(WP OPPT) yang wajib mendaftarkan diri di setiap tempat kegiatan usaha.
Sampai saat ini belum nampak pengaruh
aspek perpajakan dari e-commerce yang signifikan, hanya penegasan atas
perlakuan perpajakan e-commerce dianggap cukup. Untuk itu perlu adanya
komunikasi kepada pelaku e-commerce bahwa penegasan tersebut bukan pengenaan
pajak yang baru terhadap e-commerce, melainkan penegakan keadilan bagi pelaku
usaha. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi untuk menghindari penolakan
terhadap aturan penegasan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA

