Jumat, 03 Maret 2017

teknologi informasi dan perpajakan




ABSTRAKSI

Kami menulis makalah ini dengan harapan untuk mengetahui bagaimana teknologi informasi dan perpajakan yang juga membahas tentang hukum dan penyelesaikan masalah dalam dunia internet
Sebagaimana diketahui bahwa pengguna internet pada era sekarang sangat meningkat sesuai dengan kebutuhan informasi. Karena begitu banyaknya  pengguna intrnet baik dalam hal positif ataupun negative dengan banyak tujuan maka untuk menghindari pemakaian internet yang semena mena maka dibuatlah hukum yang mengatur tentang perpajakan. Hal tersebut juga termasuk pengaturan apabila terjadi pelanggaran atau masalah masalah lain yang berkaitan tentang internet. Sehingga kami membuat makalah ini sebagai bahan pembelajaran untuk mendalami tekniknologi informasi dan perppajakan


Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian hokum internasional?
2.      Bagaimana perpajakan dalam dunia internet?
3.      Bagaimana hubungan antara internet dan yuridiksi?
4.      Bagaimana perpajakan internasional dalam transaksi E-Commerce?



5.       

HUKUM INTERNASIONAL
Pengertian
          1            Secara etimologi hukum internasional diartikan sebagai berikut:
  • Hukum Antamegara, yaitu kumpuian peraturan yang mengatur hubungan antar negara.
  • Hukum Antarbangsa (Hukum Bangsa-bangsa), yaitu kumpuian peraturan yang mengatur hubungan antarbangsa.
          2            Hugo De Groot (Grotius – Bapak Hukum Internasional daiam bukunya Jure Belli ac Pads (The Law of War and Peace)
Hukum Internasional adalah hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara yang ditunjuk. untuk kepentingan bersama di negara-negara yang menyatukan diri didalamnya.
          3            JG. Starke (An Introduction to Internasional Law)
Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri dan asas- asas dan karenanya ditaati daiam hubungan antar negara.
          4            C. Cheney Hyde (International Law)
Hukum Internasional adalah peraturan-peraturan hukum mengenai peiaksanaan fungsi lembaga-lembaga dan organisasi internasional, hubungan lembaga-lembaga organisasi itu, serta hubungannya dengan negara-negara dan individu-individu.
5.      Mochtar Kusumaatmadja
Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antar negara, antara negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama Iainnya.
6.      John Austin
Hukum internasional hanya sebagai basa-basi (sopan-santun) daiam pergaulan internasional dan bukan hukum daiam arti sebenamya. Hal ini karena tidak ada kekuasaan yang berdaulat yang berada di atas negara-negara yang dapat mengikat dan dapat memaksakan agar hukum internasional ditaati dan dipatuhi.
7.      Sam Suhaedi
Hukum internasional merupakan himpunan aturan-aturan, norma-norma, dan asas yang mengatur pergaulan hidup masyarakat internasional.
8.      Wirjono Projodikoro
Hukum internasional adalah hukum yang mengatur perhubungan hukum antara berbagai bangsa di berbagai negara.
Jadi, secara keseluruhan, Hukum internasional adalah sekumpulan hukum yang terdiri atas asas-asas dan peraturan- peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara.
Tujuan Hukum internasional
Tujuan hukum internasional, antara lain :
  1. Menciptakan sistem hukum yang teratur daiam hubungan-hubungan internasional dengan memperhatikan asas keadilan.
  2. Mengatur masalah bersama yang penting daiam hubungan subjek-subjek hukum internasional.
Klasifikasi Macam-macam Hukum internasional
1.      Menurut Sri Jutmini dan Winamo
  • Hukum internasional umum, yaitu peraturan yang dilaksanakan secara universal.
  • Hukum internasional regional, yaitu peraturan-peraturan yang tumbuh dengan adanya hubungan antamegara dan terbatas pada lingkungan beriakunya. Hukum internasional regional tumbuh melalui hukum kebiasaan. Peraturan-peraturan regional tidak berarti derajatnya lebih rendah daripada peraturan intemasional  Peraturan-peraturan regional hanya bersifat menambah (complementary) atau berhubungan (correlated). Apabila terjadi konflik regional, maka pengadilan internasional harus menggunakan peraturan-peraturan regional yang diakui sah bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian.
  • Hukum internasional khusus, yaitu peraturan-peraturan yang hanya berlaku pada negara-negara tertentu yang tidak terbatas pada wilayah tertentu. Hukum internasional khusus tumbuh melalui perjanjian (konvensi) internasional. Contoh : Konvensi Eropa tentang HAM.
2.      Menurut Konferensi Wina Tahun 1969 (Modern)
  • Hukum internasional tertulis adalah hukum internasional hanya berlaku untuk perjanjian-perjanjian antarnegara (disebut Perjanjian Internasional Tertulis).
  • Hukum Internasional tidak tertulis adalah hukum internasional yang berupa perjanjian- perjanjian yang dilakukan secara lisan disertai catatan tertulis atau nota resmi dan nota pribadi di pejabat negara yang bersangkutan.
3.      Menurut wilayah:
  • Hukum Internasional Umum (general) adalah Hukum Intemaisonal yang tidak terbatas oleh suatu wilayah tertentu (berlaku seluryh dunia).
  • Hukum Internasional Regional adalah Hukum Internasional yang terbatas oleh wilayahtertentu.
    Misal :
    • Hukum Internasional Amerika Latin
    • Hukum Internasional ASEAN
4.      Menurut objeknya
  • Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga negara suatu negara dengan warga negara dari negara lain.
  • Hukum Publik Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara suatu negara dengan negara lain dalam hubungan internasional. Menurut Grotius, Hukum Publik Internasional (Hukum Internasional Publik) terdiri atas:
    • Hukum Damai adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara-negara dalam keadaan damai.
    • Hukum Perang adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara-negara yang berperang dan menentukan larangan-larangan mengenai cara berperang.

Beberapa hal yang harus dihormati pada saat perang, antara lain :
  • Kota terbuka tidak boleh dibom.
  •  Tempat Palang Merah dan petugasnya harus mendapat perlindungan.
  • Perang kuman (biologi) dan kimia dilarang.
  • Tawanan yang luka harus mendapat perawatan.
  • Tidak boleh membinasakan penduduk sipil.
  • Larangan pengrusakan terhadap fasilitas umum dan tempat ibadah.

PERPAJAKAN DI INTERNET (INTERNET TAX)
1.      e-Freedom Coalition
1.1  e-Freedom Coalition, Komisi Penasihat e-Commerce
Desakan teknologi dapat terhambat oleh skema perpajakan baru. Akan tetapi permasalahan pengenaan pajak atas e-Commerce ternyata melebihi penyebaran permasalahan itu sendiri. Dengan memungkinkan pemerintah lokal untuk mengenakan pajak melewati perbatasan secara fundamental tidak dapat disesuaikan. Remote taxation adalah pengenaan pajak tanpa representatif (perwakilan) pada skala yang tidak dapat dibandingkan.
Peraturan pajak yang benar haruslah mendukung fungsi-fungsi yang disandangnya dalam peraturan pemerintah. Electronic commerce memungkinkan konsumen untuk mengambil keuntungan dari tingkat pajak yang kompetitif pada wilayah yurisdiksi ditempat lain yang dengan demikian dapat melayani dengan batasanbatasan tertentu pada pemerintahan yang berlebih. Prioritas pertama seharusnya mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan memperpendek sistem pemungutan pajak.Dengan demikian akan cukup jelas surplus anggaran di tingkat federal, daerah dan local. Menyadari akan kemampuan warga negara untuk mengambil keuntungan dari semua penawaran internet, termasuk atas e-commerce, benar-benar tergantung pada kemungkinan akses internet.
Diberikan 5 rekomendasi untuk menjelaskan dan mencegah munculnya kembali pajak-pajak dan peraturan-peraturan pemerintah yang memberatkan, yang hanya  akan mengakibatkan semakin tingginya biaya yang ditanggung konsumen dan memperlambat investasi yang diperlukan untuk memperkuat dan memelihara infrastruktur informasi nasional.
Ada 5 pajak penghambat terhadap akses internet :
1. Pajak pembelian sebesar 3% pada telekomunikasi.
Pajak ini adalah sebuah anakronisme dan harus segera ditinjau ulang.
2. Discriminatoryi ad valorem taxation of interstate telecommunication.
Limabelas pernyataan tentang tingkat pajak properti bisnis telekomunikasi lebih tinggi dibanding properti yang lain, menyebabkan tingginya biaya yang ditanggung konsumen. Perlindungan pemerintah terhadap jenis pajakpajak ini telah digunakan untuk jalan kereta api, pesawat terbang, dan truk, yang seharusnya diperluas mencakup telekomunikasi.
3. Internet tolls, pengenaan pajak baru dan biaya yang dibebankan pada penyelenggaraan telekomunikasi dan konsumen mereka ketika kabel telah terinstal sepanjang jalan dan highway. Pajak-pajak baru ini, yang dapat menaikan pendaptan gross mencapai 5%, dapat meningkatkan biaya yang ditanggung konsumen, dan sudah seharusnya dihapuskan.
4. Negara dan pajak-pajak telekomunikasi local, keruwetan auditing dan prosedur pangisian. Banyak pemerintahan yang menggunakan tagihan telapon sebagai sapi perah, dengan mengenakan pajak tinggi dan berganda atas layanan yan diberikan. Pajak-pajkak seperti ini seharusnya dihilangkan menjadi pajak tunggal per pemerintahan local, dan penyederhanaan aliran prosedur pengisian atau auditing.
5. Pajak akses internet.
 Pelarangan sementara federal pada pajak akses internet seharusnya dibuat permanen. Pemerintah local yang memberlakukan pajak ini sebelum adanya larangan diberlakukan seharusnya meninjau ulang setiap pajak atas akses untuk menjaga rendahnya biaya pada konsumen. Selanjutnya, diusulkan jika pajak penjualan masih tetap dikenakan secara online, sebuah system pertumbuhan untuk pengumpulan pajak penjualandan penggunaan oleh perusahaan dengan suatu kehadiran secara fisik dalam yuridiksi pajak adalah yang paling sesuai. Sistem ini akan menguatkan, memperbaharui dan mengklarifikasi hukum konstitusional yang ada melalui penetapan standar yuridiksi yang jelas sehingga dapat dengan mudah dipahami dan relevan dalam ekonomi baru ini.

Pendekatan pada rekomendasi perpajakan e-commerce ;
1. Secara permanen melarang pajak atas akses internet.
Pemerintahan local yang memberlakukan pajak atas akses internet mengacu pada oratorium federal harus menghapuskan pajak-pajak tersebut, dan tidak ada lagi pajak baru atas akses (layanan) yang akan dikenakan.
2. Mengubah Internet Tax Freedom
Act untuk moratorium permanen atas diskriminasi pajak penjualan dan penggunaan. Bagian 1101 (a) (1) dari Internet Tax Freedom Act enyebutkan 3 tahun moratorium terhadap setiap pajak layanan akses internet baru yang tidak ditetapkan pada tanggal 1 Oktober 1998. Pengertian “layanan akses internet” menurut ITFA adalah “sebuah layanan yang memungkinkan user untuk mengakses isi, informasi, e-mail atau layanan lain yang ditawarkan di internet yang mungkin termasuk akses pada isi, informasi, maupun layanan lain dengan kepemilikan sebagai bagian dari paket layanan yang ditawarkan kepada konsumen.Dalam hal ini tidak termasuk layanan telekomunikasinya”.
Dengan demikian ITFA telah mempelopori pajak akses internet yang ada sekarang di beberapa daerah yang kemudian menggunakannya sebagai sumber pendapatan sebelum masa berlakunya moratorium. Bagian 1101 (a) (2) dari IFTA juga menyinggung tentang moratorium atas pajak berganda dan diskriminasi pajak atas electronic commerce, termasuk didalamnya pajak penjualan lokal dan daerah serta pajak penggunaan lokal dan daerah. Untuk meong kombinasi efek dari kedua klausa IFTA ini maka diadakan tax-freezone sementara untuk akses internet dan berbagai tipe electronic commerce. Efreedom Coalition mengajukan taz-free-zone sementara ini dibuat permanen baik untuk pajak akses serta pajak penjualan dan penggunaan pada Electronic commerce. Pajak seperti ini sangat tidak efisien. Pengenaan pajak akses dan penjualan secara berganda, tumpang tindih ataupun diskriminasi pada internet dan Electronic commerce secara umum akan sulit dan prakteknya menjadi tidak efisien. Dengan memiliki 30.000 maupun 50 yurisdiksi dan kebijakan pajak hanya akan menimbulkan kebingungan dan rezim pajak domestic yang kontra produktif. Pelaksanaan rezim pajak ini pada internet atau electronic commerce hanya akan menimbulkan efek yang sangat menggangu pada sektor internet padahal internet sedang dalam tahap pertumbuhan dan perluasan. Output industri dan kaum pengusaha akan dibatasi secara besar-besaran. Efek negatif dari rezim pajak internet yang baru gaungnya terdengar pada ekonomi nasional. Pengenaan pajak tidak terbatas pada internet akses atau penjualan akan mengurangi usaha-usaha di masa dating dan sangat disesalkan dapat mengurangi inovasi, panciptaan lapangan kerja baru, dan pertumbuhan ekonomi secara general.
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum), Yurisdiksi negara dalam hukum internasional adalah hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah – langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku – perilaku atau peristiwa – peristiwa yang tidak semata – mata merupakan masalah dalam negeri .
Kemajuan teknologi informasi yang cepat selalu menimbulkan suatu permasalahan terutama di bidang hukum pidana, sementara di satu sisi hukum seringkali tertinggal jauh di banding dengan kemajuan teknologi. Komunitas (community) sosial yang ada dan telah terbentuk serta berjalan dengan adanya perkembangan teknologi informasi juga akan mengalami perubahan di berbagai aspek. Dengan menggunakan internet muncul pula komunitas masyarakat yang berbeda dengan yang sudah ada selama ini, komunitas masyarakat internet dapat pula disebut sebagai “cybercommunity”.
Memperhatikan berbagai perkembangan yang terjadi , dapat dikatakan internet adalah suatu sistem jaringan yang terdiri dari berbagai macam komunitas, sehingga peserta atau anggota komunitas dapat membuat dan mendefinisikan hukum yang tepat untuk komunitas  Komunitas masyarakat internet yang tanpa batas (borderless) menimbul-kan masalah dalam hal jurisdiksi. Sebagaimana dikemukakan oleh Masaki Hamano :
Masaki Hamano menggunakan 3 jenis yurisdiksi tradisional , untuk menganalisa permasalahan dalam cyberjurisdiction.
1) Yurisdiksi legislatif (Jurisdiction to prescribe)
Yurisdiksi legislatif adalah wewenang negara untuk membuat hukum sesuai dengan masyarakat dan keadaan yang ada . Dalam keterkaitannya dengan internet, muncul pertanyaan ialah negara mana yang berwenang terhadap kegiatan atau orang di dunia cyber?. Menimbulkan suatu permasalahan yaitu “choice of law”.
2) Yurisdiksi untuk mengadili ( Jurisdiciton to adjudicate)
Yurisdiksi untuk mengadili didefinisikan sebagai wewenang negara terhadap seseorang untuk melakukan proses pemeriksaan pengadilan , dalam masalah kriminal. Pada yurisdiksi ini, masalah yang muncul adalah “choice of forum”.
3) Yurisdiksi untuk melaksanakan (Jurisdiction to enforce)
Yurisdiksi untuk melaksanakan berhubungan dengan wewenang satu negara untuk melakukan penghukuman terhadap terdakwa sesuai hukum yang berlaku, baik melalui pengadilan atau melalui tindakan non-hukum lainnya (sanksi administratif).
Ketiga macam jurisdiksi yang dikemukakan di atas, dapat diterapkan dalam bidang penegakan hukum pidana sehingga menjadi sebagai berikut yurisdiksi legislatif adalah kewenangan pembuatan hukum substantif atau dapat juga disebut jurisdiksi formulatif; jurisdiksi judisial merupakan kewenangan mengadili atau menerapkan hukum , dapat pula disebut sebagai jurisdiksi aplikatif atau yurisdiksi judisial; jurisdiksi eksekutif adalah kewenangan melaksanakan kepatuhan hukum yang dibuat , dapat pula disebut jurisdiksi eksekutif.
Masalah yurisdiksi yang timbul lebih banyak sebagai yurisdiksi horisontal, artinya negara manakah yang berhak untuk memutuskan atau melaksanakan yurisidiksi di dunia mayantara (cyberspace); hal ini muncul karena sulitnya untuk menetapkan diwilayah mana dunia mayantara (cyberspace) dapat dikenai jurisdiksi.  
Trachtman mengajukan dua pandangan tentang masalah yurisdiksi, pertama bahwa masalah dunia mayantara tidak dapat ditempatkan dalam satu wilayah teritorial negara manapun dengan asumsi bahwa wilayah teritorial sebagai dasar yurisdiksi; pandangan kedua didasarkan pada keadaan mendasar tentang pemerintahan yang bersifat global (global government).

Pemerintahan global dapat digambarkan dalam tiga parameter, yaitu :
1) Peraturan untuk menempatkan yurisdiksi di antara negara/pemerintahan;
2) Harmonisasi peraturan;
3) Kemungkinan diadakannya organisasi sentral yang diikutsertakan dalam pembuatan peraturan dan kegiatan penegakan hukum.
Kedua             pandangan tersebut memiliki kelemahan , sebagaimana diungkapkan oleh Trachtman sendiri. Bahwasanya , baik pada pandangan pertama dan kedua apabila dikaji lebih dalam, jika terjadi kegagalan dapat menimbulkan anarki, bukan lagi pemerintahan global.
Masalah penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan di internet , memang membutuhkan analisa, pendekatan tersendiri, serta kemungkinan penggabungan beberapa teori mengenai yurisdiksi dan hal ini karena kekhususan yang ada pada komunitas internet itu sendiri, serta teknologi informasi yang mendukung keberadaannya.
Pada prinsipnya, tiga jenis yurisdiksi yang selama ini sudah dikenal tetap digunakan sebagai landasan untuk dikembangkan lebih jauh dan mendalam.Ketiga yurisdiksi tersebut yaitu :
1) Yurisdiksi legislatif yaitu kewenangan membuat hukum (jurisdiction to prescribe);
2) Yurisdiksi judisial yaitu kewenangan untuk mengadili (jurisdiction to adjudicate);
3) Yurisdiksi pelaksanaan yaitu kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan (jurisdiction to enforce).

PAJAK DALAM DUNIA INTERNET
Perlakuan pajak penghasilan terhadap transaksi bisnis tersebut akan dibahas dengan mengambil asumsi pertama bahwa ASP dimaksud berada di Indonesia dan server yang disebutkan diatas tidak mempunyai back-up servers sehingga server tersebut merupakan satu-satunya server yang menjadi objek analisis.
Server dimiliki oleh wajb pajak Indonesia. Bagi wajib pajak dalam negeri yang mempunyai server yang berlokasi di dalam negeri dan menyewakannya kepada wajib pajak lainnya, penghasilan yang diperolehnya dari kegiatan tersebut adalah penghasilan atas sewa dari space yang bersangkutan. Dari sudut pandang penyewa, apakah penyewa tersebut wajib memotong sewa yang dibayarkannya. Pemotongan PPh dalam Undang-undang Pajak Penghasilan yang menyangkut pembayaran kepada wajib pajak dalam negeri, diatur di beberapa pasal yaitu pasal 4 ayat (2), pasal 22, dan pasal 23.
Ketentuan yang paling dekat dengan kasus di atas adalah pasal 23, karena cakupan dari pasal tersebut meliputi dividen; bunga; royalty; hadiah atau penghargaan; sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan. Apabila disimak cakupan PPh Pasal 23 tersebut maka yang paling mendekati adalah sewa sehubungan dengan penggunan harta. Ketentuan Pasal 23 yang menyangkut penghasilan dari penggunaan harta tidak terlalu jelas ruang lingkupnya. Apabila pengertian "harta" diberi interpretasi yang luas maka mencakup harta berwujud dan harta tak berwujud. Yang pasti adalah bahwa suatu website bukan merupakan harta berwujud, sehingga apabila pengertian "harta" diberi arti yang luas maka penyewaan "website" akan dicakup dalam ketentuan Pasal 23 dimaksud. Pasal 23 mensyaratkan bahwa dalam hal yang membayar adalah orang pribadi maka orang tersebut harus ditunjuk sebagai pemotong.
Dengan demikian apabila penyewa website adalah orang pribadi pembayaran yang dilakukan kepada pemilik ISP tidak perlu memotong sepanjang yang bersangkutan tidak ditunjuk sebagai pemotong. Sebagaimana yang telah dijelaskan agar supaya website menjadi aktif dan dapat dipergunakan diperlukan perangkat lunak yang sepsifikasinya atau jenisnya tergantung kepada pemiliknya sesuai dengan kebutuhannya. Perangkat lunak ini diperlukan baik oleh pemilik ISP maupun penyewanya. Untuk keperluan tersebut baik pemilik ISP maupun penyewa website akan meminta seorang programmer untuk membuat program (perangkat lunak) sesuai dengan kebutuhannya. Transaksi tersebut akan menimbulkan implikasi pajak terutama masalah pemotongan PPh. Dengan perkataan lain, apakah pembayaran atas perangkat lunak tersebut merupakan objek pemotongan. Hal ini ditentukan masuk jenis penghasilan apa pembayaran dimaksud. Hanya ada dua jenis penghasilan yang paling mendekati yaitu royalti atau jasa. Pada dasarnya "royalti" adalah imbalan sebagai pengganti penggunaan atas hak, sehingga kepemilikan hak tersebut tetap pada penemunya/pemilik.
Bila dibandingkan dengan kasus perangkat lunak dalam kaitannya dengan website, perangkat lunaknya sudah berpindah tangan kepada yang membelinya. Atas dasar pertimbangan ini maka pembayaran atas perangkat lunak tersebut masuk dalam kategori "jasa", yang berdasarkan ketentuan Pasal 23 masuk dalam kelompok jasa teknik, yang dasar pemotongannya adalah penghasilan neto.
Implikasi pajak yang agak rumit dari kegiatan usaha dengan e-commerce juga timbul dalam hal penyewa atas space di ISP (penyedia jasa Internet) adalah perusahaan yang berdomisili di luar negeri. Definisi bentuk usaha tetap (BUT) diatur di Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh, yang berdasarkan rinciannya memberikan indikasi bahwa keberadaan di Indonesia melalui harta berwujud, disamping kegiatan pemberian jasa di Indonesia. Dengan demikian, apabila sebuah perusahaan luar negeri melakukan kegiatan usaha melalui website, sesuai dengan definisi, kegiatan ini tidak menimbulkan bentuk usaha tetap (BUT). Hal yang sama juga dapat dikatakan bila perusahaan luar negeri tersebut adalah perusahaan yang berdomisili di negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia. Namun, bila kegiatan dari perusahaan tersebut memberikan jasa melalui website-nya maka pembayaran yang diterima dari Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26, dengan asumsi bahwa perusahaan tersebut berdomisili di negara-negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia. Server dimiliki oleh wajib pajak luar negeri. Sekali lagi dapat dikatakan bahwa Undang-undang Pajak Penghasilan belum mencakup masalah ini, sehingga apabila definisi bentuk usaha tetap (BUT) mencakup ISP maka Pasal 2 ayat (5) perlu diubah dan ditambah.
Hal ini terkait rencana pemerintah tentang menjaring pajak penghasilan (PPh) warga negara asing yang berbisnis musiman di Indonesia. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mulai masuk masalah teknis. Panitia Kerja mengemukakan RUU PPh baru menyelesaikan pembahasan 110 daftar inventaris masalah (DIM) dari 600 DIM. Ketua Panitia Khusus RUU PPh, Melchias Markus Mekeng mengungkapkan tentang pembahasan bentuk usaha tetap (BUT) terkait maraknya perusahaan-perusahaan milik warga negara asing yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah ingin mengenakan pajak penghasilan terhadap mereka dengan menjaringnya sebagai bentuk usaha tetap (BUT). Berkaitan dengan niat itu, penetapan status bentuk usaha tetap (BUT) dapat bersifat terbuka (open list) tetapi harus ada definisi yang lebih spesifik sehingga bisa tercipta kriteria bentuk usaha tetap (BUT) yang bersifat khusus pula. Dalam hal ini pemerintah mengusulkan 15 jenis bentuk usaha tetap (BUT) yang masuk dalam dan menjadi subjek PPh. Mereka adalah orang pribadi, warisan yang belum dibagikan, badan hukum, dan badan usaha. Termasuk di dalamnya berupa kantor perwakilan perusahaan asing, gudang, showroom, tempat penjualan, serta agen dan kriteria ini untuk mencakup orang yang tidak tinggal di Indonesia atau tidak menetap di Indonesia lebih dari 183 hari atau setahun. Hal ini terkait dengan permasalahan di dalam mengantisipasi aturan untuk menjaring transaksi e-commerce, terutama untuk pajak penghasilan bagi penyedia jaringan atau jasa transaksinya.
Jika situasi tersebut dikaitkan dengan P3B maka ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu pertama, dalam UU domestik dari negara-negara yang terlibat mempunyai aturan tersebut, dan kedua, sesuai dengan commentary dari OECD, keberadaan ISP memenuhi ketentuan Pasal 5 dari OECD Model. Pasal 5 dari OECD Model mensyaratkan bahwa peralatan apapun yang digunakan sebagai server, sifatnya harus tetap. Artinya server tersebut harus mempunyai lokasi yang tetap dan pasti. Secara garis besar, semua transaksi dalam kaitannya dengan persiapan untuk mengoperasikan website, dalam hal server dimiliki oleh wajib pajak luar negeri.
Misalkan salah satu dari penyewa website, yaitu wajib pajak luar negeri, menggunakan website-nya untuk menyimpan informasi yang menyangkut industri tertentu, yang kemudian ditawarkan kepada pihak ketiga untuk menjadi pelanggannya (subscriber). Pelanggan tersebut membayar iuran untuk dapat mengakses informasi dimaksud. Impikasi pajak penghasilan dari transaksi tersebut adalah perlakuan pajaknya terhadap pembayaran yang di lakukan oleh pelanggan. Yang prtama-tama dilakukan adalah menentukan masuk dalam kategori penghasilan apa pembayaran tersebut. Dari sudut pandang UU Pajak Penghasilan, pembayaran untuk informasi yang belum diungkapkan ke public atau yang tidak dapat diperoleh melalui sarana yang tersedia di public, masuk dalam kategori "royalti", sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h.
Jadi kalau pelanggannya adalah wajib pajak Indonesia maka yang bersangkutan harus memotong PPh Pasal 26, dengan catatan bahwa tarifnya tergantung domisili dari wajib pajak yang menerimanya. Pemotongan PPh pasal 26 ini bisa tidak final jika server tersebut dianggap sebagai bentuk usaha tetap (BUT). Seandainya demikian maka pembayaran untuk informasi tersebut diperlakukan sebagai penghasilan usaha (business income) dari wajib pajak yang menerimanya. Sebaliknya apabila berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan "server" tersebut tidak/belum masuk dalam definisi bentuk usaha tetap (BUT) maka pemotongan PPh Pasal 26 menjadi final. Server berada di luar negeri. Implikasi pajak penghasilan terhadap penghasilan yang bersumber dari Indonesia sebagai akibat dari kegiatan usaha melalui e-commerce yang server-nya berada di luar negeri, mirip dengan apabila server yang berada di Indonesia dimiliki oleh wajib pajak luar negeri.
Dalam hal demikian maka ketentuan dari Undang-undang Pajak Penghasilan yang dapat diterapkan adalah Pasal 26, dengan catatan bahwa pembayaran tersebut diterima oleh wajib pajak dari Negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia.
Di mana setiap pembayaran yang bersumber dari Indonesia yang membayar, termasuk orang pribadi, harus memotong PPh Pasal 26 sebesar 20%. Apa yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa dalam hal e-commerce melibatkan wajib pajak luar negeri, faktor utama yang memungkinkan Indonesia dapat mengenakan pajak adalah apakah suatu web page dapat menimbulkan bentuk usaha tetap (BUT).
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, web page ini dimasukkan dalam host komputer. Teorinya web page tersebut akan menjadi bentuk usaha tetap (BUT) di negara dimana host komputer-nya berada, dengan catatan (sesuai dengan OECD Model) bahwa computer tersebut tetap berada di satu tempat. Jadi hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam rangka upaya ekstensifikasi. Namun demikian, perlu disadari bahwa bagi pemilik server atau web page sangat mudah memindahkannya ke tempat lain atau Negara lain sehingga tidak terperangkap ke dalam definisi bentuk usaha tetap (BUT).    
Pemenuhan kewajiban perpajakan. Di samping pendekatan yuridis fiskal, pendekatan dari segi administratif juga perlu dipikirkan. Transaksi melalui e-commerce sulit dilacak tanpa tersedianya data atau informasi yang diperlukan, terutama apabila transaksi tersebut dilakukan melalui server yang berada di luar negeri. Pemenuhan kewajiban perpajakan, terutama yang menyangkut kewajiban memotong PPh Pasal 26. Hal ini akan sangat tergantung kepada terbentuknya badan pengawas yang bertugas untuk mengawasi lalu lintas komunikasi melalui internet agar tidak menimbulkan terjadinya kejahatan di dunia maya (cybercrime).

PERPAJAKAN INTERNASIONAL DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE
Perkembangan teknologi digital yang sangat pesat secara otomatis juga mempengaruhi gaya hidup orang-orang yang ada didalamnya. Akses internet yang semakin mudah dan murah didukung dengan tersedianya berbagai jenis gadget menjadikan siapapun semakin mudah dalam mengakses informasi. Pengguna internet yang semakin besar inilah yang mendorong munculnya berbagai situs jual beli online, yang memungkinkan antara penjual dan pembeli dapat bertransaksi di dunia maya, tanpa harus bertatap muka. Transaksi online ini acapkali disebut dengan e-commerce. Dengan berbagai kemudahan, seperti penjual tidak perlu menyewa tempat, stok barang, atau menyewa pegawai menjadikan e-commerce sebagai salah satu bisnis yang paling diminati.
Melihat pertumbuhan e-commerce yang sangat pesat, maka diperlukan strategi yang efektif bagi otoritas perpajakan dalam menyikapinya. Yang harus diperhatikan adalah tetap menjaga pertumbuhan yang pesat ini agar tidak terjadi distorsi yang diakibatkan oleh kebijakan perpajakan. Selama ini aspek perpajakan dalam e-commerce menjadi sorotan otoritas perpajakan, apakah transaksi ini dikenakan pajak dan bagaimana menyeimbangkan antara peraturan perpajakan yang ada dengan perkembangan e-commerce.
Melihat perkembangan yang sangat cepat dari pertumbuhan e-commerce di dunia termasuk di Indonesia, maka diperlukan suatu strategi yang efektif bagi otoritas perpajakan dalam menyikapinya. Salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah pertumbuhan yang sangat pesat ini harus tetap dijaga agar tidak terjadi distorsi sebagai akibat kebijakan perpajakan. Selama ini, aspek perpajakan dalam e-commerce telah menjadi sorotan otoritas perpajakan di dunia, terutama apakah harus ada pengenaan pajak baru terhadap transaksi ini dan juga bagaimana menyelaraskan peraturan perpajakan yang ada dengan perkembangan ecommerce.
Beberapa negara yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) sepakat bahwa setiap perubahan pada aspek perpajakan bagi e-commerce dilakukan melalui kerja sama dan perjanjian internasional dengan berdasarkan pada prinsip dasar perpajakan. Lima prinsip dasar perpajakan tersebut adalah: neutrality, efficiency, certainty and simplicity, effectiveness and fairness dan flexibility, prinsip ini juga berlaku bagi semua perdagangan non ecommerce.
Pada tahun 1998, Amerika Serikat menerapkan Internet Tax Freedom Act. Setelah mengalami beberapa kali perpanjangan, kemudian berakhir pada November 2014. Peraturan ini melarang tidak dikenakannya pajak pada: akses internet, penggunaan bandwith internat dan penggunaan email. Namun demikian ketentuan perpajakan yang berlaku bagi perdagangan konvensional berlaku sama dengan e-commerce.
Kanada menetapkan bahwa bisnis yang dilakukan secara online diperlakukan sama seperti bisnis biasa. Pendapatan dari e-commerce termasuk dalam kategori pendapatan biasa dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang pajak penghasilan yang berlaku. Ketentuan tersebut juga berlaku pada perdagangan yang terkena pajak penjualan, seperti GST (Goods and Service Tax) dan HST (Harmonized Sales Tax).
Beberapa negara mengambil sikap wait and see terkait pajak e-commerce. Hanya Uni Eropa yang berbeda, dimana jika seseorang menjual barang dan jasa melalui internet dan memenuhi nilai penjualan dalam batas tertentu, maka wajib untuk mendaftarkan dirinya di salah satu negara Uni Eropa dan mengenakan PPN bagi pembelinya.
Yang harus diperhatikan adalah, dengan tidak adanya ketentuan pajak baru bukan berarti e-commerce bebas pajak. Perlakuan pajak yang sama perlu diterapkan bagi pengusaha online agar prinsip keadilan dalam pengenaan pajak dapat dipenuhi. Hal yang tidak adil jika seorang menjalankan usaha toko makanan harus membayar pajak atas penghasilan yang didapatkannya, sementara orang lain yang menjual makanan melalui toko online tidak dikenakan pajak.
Karena itu pihak perpajakan di Indonesia hendaknya memberikan awareness agar pengusaha e-commerce menyadari kewajiban perpajakannya. Selain itu beberapa peraturan perundangan perpajakan yang sudah berlaku harus kembali ditegaskan dalam bisnis e-commerce, seperti jika ada pengusaha e-commerce memiliki banyak toko online dengan lokasi server yang berbeda, apakan diperlakukan sama dengan WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) yang wajib mendaftarkan diri di setiap tempat kegiatan usaha.
Sampai saat ini belum nampak pengaruh aspek perpajakan dari e-commerce yang signifikan, hanya penegasan atas perlakuan perpajakan e-commerce dianggap cukup. Untuk itu perlu adanya komunikasi kepada pelaku e-commerce bahwa penegasan tersebut bukan pengenaan pajak yang baru terhadap e-commerce, melainkan penegakan keadilan bagi pelaku usaha. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi untuk menghindari penolakan terhadap aturan penegasan tersebut.




DAFTAR PUSTAKA


 

Pengantar Komputer Template by Ipietoon Cute Blog Design